Minggu, 25 Oktober 2009

Kesabaran Luar Biasa Guru-guru Sekolah Luar Biasa


Kesabaran Luar Biasa Guru-guru Sekolah Luar Biasa 
Minggu, 18 Oktober 2009 

Mendidik siswa di sekolah umum tentu tidak terlalu sulit. Tapi bagaimana dengan anak-anak yang di sekolah luar biasa yang memiliki kelainan khusus?

Siang itu, Kelvin (12), kakak beradik Desrianti (16) dan Rismawati (11), siswa kelas A (tuna netra/tak bisa melihat) di Sekolah Luar Biasa (SLB) Kartini, Jodoh, asyik bermain ayunan. Sang guru, Lita Susanti (45) kemudian memintanya masuk kelas karna jam istirahat sudah berakhir. 


Kelvin yang bisa melihat sedikit dengan cepat masuk kelas. Sementara Desrianti dan Rismawati yang tidak melihat total susah payah menuju ruangan. Bahkan Risma--panggilan akrab Rismawati sempat salah arah. Melihat itu, Lita, sang guru langsung memanggilnya. ”Risma, ke sini nak,” ujarnya, sembari kedua tangannya terus bertepuk tangan lalu berjalan menuju ruang kelas. Dengan dituntun bunyi-bunyi tepukan tangan itu, Risma akhirnya masuk ke kelas. 


Di kelas mereka belajar cara menulis dan membaca dengan breile dan riglet serta stilus. Dari tiga siswa tersebut, hanya Desrianti yang bisa membaca. “Susah tulisannya. Jadi kita harus sabar,” kata Lita. Jadilah siang itu, Risma dan Kelvin belajar memasangkan puzle saja. Itu juga tetap dibimbing untuk memasangkannya. ”Ayo Risma.... coba raba mana yang pas,” kata Lita, meminta Risma menempel kepingan puzle. 


Seperti itulah, Lita menjalani hari-harinya sebagai guru bagi siswa tuna netra di SLB Kartini Jodoh. Wanita asal Padang ini sudah mengajar di SLB sejak dua tahunan lalu. “Dari dulu, saya memang ingin sekali jadi guru tuna netra. Tulisannya sangat awam, tidak semua orang bisa,” kata Lita kepada Batam Pos, Kamis (15/10). Sabar saat mengajarkan siswa baru adalah mutlak. Begitupun saat menghadapi siswa dengan gangguan ganda (tuna netra, hyperaktif juga tuna grahita).  


Lain lagi dengan pengalaman Sudoyo (41), pengajar siswa tuna rungu di kelas IV dan V SD SLB Kartini. ”Mengajar di sini ibarat tak kenal maka tak sayang. Lama- lama kenal makin sayang. Ini sudah dunia saya,” kata Sudoyo yang telah menjadi guru SLB selama 12 tahun. Alumni IKIP Jogjakarta jurusan pendidikan luar biasa ini mengajar IPA, IPS, Matematika, PPKN, Olahraga dan keterampilan.  


Soal kesabaran sudah pasti dituntut lebih. Contoh kecilnya saat waktunya masuk kelas usai istirahat. Beberapa siswanya kadang sering tak muncul-muncul di dalam kelas, padahal bel sudah berbunyi sejak lama. ”Kalau seperti itu saya-nya harus maklum. Mereka itu kan tidak bisa mendengar bunyi bel. Solusinya, saya SMS atau saya jemput,” katanya. Lain lagi dengan Prihono (44), guru khusus siswa tuna grahita (mental lemah), juga mengajar siswa yang tuna rungu. Ia malah mengaku mendapat hikmah tersendiri mengajar di SLB.  


”Saya pindahan dari SMK Kartini. Di sini saya merasa makin rendah hati,” katanya. Lucunya, Prihono yang mantan guru SMK dan lulusan IKIP jurusan Bangunan ini justru belajar bahasa isyarat pada murid saat pertama kali mengajar. ”Saya angkat satu siswa saya jadi asisten, dia bisa mendengar sedikit. Setelah tiga bulan lama-lama lancar,” ujar Prihono. Dalam proses belajar mengajar Sudono dan Prihono mengaku paling sulit menerangkan kata abstrak, khususnya saat mengajar murid di kelas B (tuna rungu). Contohnya kata “Terlena”.  


Bahasa isyarat tak semuanya bisa mengerti. Tak salah kalau Prihono yang bisa bahasa isyarat jadi dikunjungi siswanya setiap hari. ”Sehari ada 20 kali murid ke rumah saya. Desi salah satunya. Dia suka main bareng anak saya, Isti Prihani (12). Apalagi kalau hari libur. Mereka berdua ikut sibuk di dapur bareng istri saya,” katanya. Guru SMA SLB Kartini, Elfa Liskar (37), yang pindahan dari SMP Kartini juga punya pengalaman tersendiri. ”Saya kan mengajar SMA, jadi tidak terlalu sulit berkomunikasi dengan mereka. Mereka sudah banyak menguasai bahasa isyarat sesuai SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia). Juga sudah pintar menulis dan membaca,” kata Elfa.  


Elfa yang bukan dari jurusan pendidikan luar biasa berupaya keras mempelajari bahasa isyarat. ”Bahasa Isyarat itukan bersifat universal. Dari negara manapun bahasanya sama. Tidak seperti bahasa lisan,” kata Elfa. Elfa yang mengajar komputer di SMA Luar Biasa juga mengaku harus bisa sabar. Bahkan, ia mengaku lebih senang mengajar di SLB dibandingkan mengajar di sekolah umum.  


Di SLB para guru dituntut menguasai program khusus. Untuk kelas A (tuna netra/tak bisa melihat) misalnya, harus menguasai program bina komunikasi, persepsi bunyi dan irama, untuk kelas B(tuna rungu/tak mendengar) ditambah dengan program orientasi dan mobilitas. Sedangkan di kelas C (tuna grahita/lemah mental) harus menguasai program bina diri. “Pokoknya seru,” ujarnya. (ann)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar